Tepatnya hari senin (19/09/2011) menjadi berita menarik untuk disimak bagi masyarakat luas karena sebuah aksiden memiriskan dan memilukan bagi para kalangan pelajar VS wartawan (jurnalis) akibat terlibat bentrok. Singkat kejadian, bahwa kronologis tersebut diawali dengan demonstrasi yang dilakukan oleh pihak wartawan di depan sekolah SMA 6 Jakarta yang bermula saat adanya aksi perampasan alat peliputan yang dilakukan oleh kalangan pelajar. Kejadian tersebut 2 orang para wartawan menjadi korban luka memar diwajah yang dilakukan oleh kalangan pelajar saat berada di lingkungan sekolah tersebut. Menurut Seto Mulyadi yang akrab dipanggil sebagai Kak Seto dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mengatakan bahwa masalah kekerasan di SMA 6 merupakan permasalahan yang sudah menjadi tradisi dan bagian psikodinamika.
Dengan kejadian itu beragam spekulasi jawaban dan analisa yang muncul datang dari pihak pro pelajar maupun yang pro terhadap wartawan (jurnalis). Aksiden juga berbuntut di daerah lain terutama di Makassar mereka telah ditangkap lantaran menganiaya pelajar di sekolah lain dan merusak mobil angkutan kota. Peristiwa dan kejadian tersebut kesemuanya tentu berlanjut melalui proses hukum dan berdasarkan bukti-bukti empiris di lapangan. Dalam pandangan penulis berawal dari kegelisahan perilaku tersebut dan bukan bermaksud untuk menjadi pahlawan kesiangan, memberikan sebuah hukuman (punishment), tetapi dalam tulisan ini bagaimana sikap tawuran diamati dan dicermati sebagai bentuk kajian sosiologis.
Perilaku tawuran yang dilakukan oleh pelajar sudah menjadi fenomena sosial yang kerap kali terjadi belakangan ini khususnya yang ada di kalangan pelajar baik tingkat atas maupun yang ada di tingkat perkuliahan (mahasiswa). Untuk itu pertanyaan yang sarat dengan pengkajian sosiologis adalah mengapa (why) para kaum pelajar kerap melakukan aksi tawuran tersebut ? untuk itu kita tidak dapat melihatnya dalam pandangan kacamata kuda tetapi perlu perspektif dan kajian yang mengkristal.
Faktor Penyebab
Memulai tahun ajaran baru para kaum pelajar telah tercoreng dengan bentuk aksi tawuran yang mereka lakukan. Mereka telah menamakan dirinya sebagai kaum pelajar yang diidentikkan dengan agent of intellectual, pelanjut generasi bangsa, dan menjadi social of control di masyarakat. Fenomena tawuran yang dilakukan oleh para kaum pelajar tak pernah putus keberadaannya karena didentikkan proses melalui pencarian jati diri yang sesungguhnya.
Masa remaja (pelajar) sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah, baik di rumah, sekolah, atau di lingkungan pertemanannya. Faktor pemicunya menurut seorang sosiolog adalah gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang baik.
Sangat ironis ketika para kaum pelajar melakukan sebuah tindakan aksi tawuran karena mereka diharapkan mampu menjadi pembelajar sejati tetapi mereka terlibat aksi tawuran yang bersifat destruktif dan tindakan tersebut termasuk kedalam bentuk perilaku menyimpang (deviation social). Para kaum pelajar khususnya yang ada di masyarakat perkotaan pada dasarnya bersifat heterogenitas dan bersifat plural (etnis), tentunya mereka akan melakukan proses akulturasi didalamnya yang sebelumnya mereka belum mengetahui norma dari setiap orang lain khususnya yang ada di lingkungan sekitar.
Kaum pelajar meyakini bahwa norma yang dimilikinya sesuai dengan pencitraan dengan nama dirinya sendiri yakni ingin merasakan yang namanya anak muda. Maka terlintas dipikiran bahwa mereka bisa saja melakukan sesuai dengan keinginan (hasrat) tanpa ingin mengetahui norma dan ekses negative yang ditimbulkan. Sontak dari kejadian tawuran antara pelajar vs wartawan maupun pelajar dengan yang lainnya bahwa mereka tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan dan tidak mampu membedakan hal yang pantas dan tidak pantas. Keadaan itu bisa juga terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home), kurangya perhatian dari orang tua, dan sosialiasi lingkungan yang tidak kondusif.
Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi.
Memasuki abad ke 21 faktor objektif tidak kalah pentingnya yang datang adalah media. Sarana IPTEK menjadi faktor penting yang kian menjadi konstruksi sosial berupa pemikiran (mindset), perilaku, dan terjadi dinamika perubahan lingkungan di masyarakat. Misalnya melalui permainan game online yang menyebabkan pola perilaku imitasi (imitation behavior) dengan bervirtual bersifat kekerasan dan melalui tayangan dan tontonan TV yang menampilkan adu kekerasan dan dan bersifat tindakan anarkisme. Teknologi tersebut mempunyai ekses negative yang mempengaruhi sosialisasi perkembangan anak khususnya di kalangan para kaum pelajar dan bisa bias dari apa yang diharapkan dengan kehadiran teknologi informasi tersebut.
Proses Sosialisasi
Kejadian diharapkan mempunyai dampak tersendiri bagi proses pemberi sosialisasi yang mempunyai peranan penting yang bersifat holistik di lingkungan sosial yang mempengaruhi tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi anak dan remaja. Dengan pola kehidupan modern sekarang tentunya yang ditampilkan adalah sifat individualistik yang terkadang mengabaikan pola dan pertumbuhan kehidupan anak dan remaja yakni perhatian yang didapatkan dan diberikan oleh pihak orang tua (pendidik). Selain itu pergaulan di kehidupan nyata yang berperan penting yakni teman sepermainan yang saling memberi stimulus, organisme, respon (SOR) yang bisa memunculkan perilaku yang bersifat saling meniru (imitation behavior) dengan sesuatu hal yang positif.
Oleh karena itu proses sosialisasi lingkungan tersebut harus bersifat holistik dan bersifat integral. Lingkungan awal adalah para orang tua, saudara, maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penamaan disiplin dan kebebasan. Pada saat ini orang tua, saudara maupun kerabat (secara sadar atau setengah sadar) melakukan sosialisasi yang biasa diterapakan melalui kasih sayang yang memberikan suatu nilai tersendiri berupa nilai ketertiban, ketentraman, nilai kebendaan, keakhlakan, dan nilai kelestarian.
Selain itu juga bahwa pendidikan yang bersifat formal kurang mampu memberikan sebuah nilai edukatif yang mempunyai peranan penting. Dengan melakukan sebuah refleksi kehadiran tempat bimbingan belajar yang semakin menjamur di perkotaan bahwa para orang tua maupun siswa tidak puas mendapatkan ilmu yang bersifat edukatif yang bermanfaat untuk bagi dirinya. Olehnya itu para orang tua bisa memberikan tambahan pendidikan lainnya yang bersifat non formal melalui les dan privat yang di nikmati dan disukai oleh para siswa karena waktunya yang cukup fleksibel.
Dengan berharap bahwa kesemua proses sosialisasi tersebut kiranya dapat bersifat holistik dan integral, memberikan pusat perhatian kepada anak tercinta dalam kehidupan sehari dimana para orang tua terkadang sibuk dan larut dalam rutinitas yang dijalani.