Blogger Backgrounds

Senin, 26 September 2011

Tawuranisme Pelajar

Tepatnya hari senin (19/09/2011) menjadi berita menarik untuk disimak bagi masyarakat luas karena sebuah aksiden memiriskan dan memilukan bagi para kalangan pelajar VS wartawan (jurnalis) akibat terlibat bentrok. Singkat kejadian, bahwa kronologis tersebut diawali dengan demonstrasi yang dilakukan oleh pihak wartawan di depan sekolah SMA 6 Jakarta yang bermula saat adanya aksi perampasan alat peliputan yang dilakukan oleh kalangan pelajar. Kejadian tersebut 2 orang para wartawan menjadi korban luka memar diwajah yang dilakukan oleh kalangan pelajar saat berada di lingkungan sekolah tersebut. Menurut Seto Mulyadi yang akrab dipanggil sebagai Kak Seto dari Komisi Nasional Perlindungan Anak mengatakan bahwa masalah kekerasan di SMA 6 merupakan permasalahan yang sudah menjadi tradisi dan bagian psikodinamika. 

Dengan kejadian itu beragam spekulasi jawaban dan analisa yang muncul datang dari pihak pro pelajar maupun yang pro terhadap wartawan (jurnalis). Aksiden juga berbuntut di daerah lain terutama di Makassar mereka telah ditangkap lantaran menganiaya pelajar di sekolah lain dan merusak mobil angkutan kota. Peristiwa dan kejadian tersebut kesemuanya tentu berlanjut melalui proses hukum dan berdasarkan bukti-bukti empiris di lapangan. Dalam pandangan penulis berawal dari kegelisahan perilaku tersebut dan bukan bermaksud untuk menjadi pahlawan kesiangan, memberikan sebuah hukuman (punishment), tetapi dalam tulisan ini bagaimana sikap tawuran diamati dan dicermati sebagai bentuk kajian sosiologis. 

Perilaku tawuran yang dilakukan oleh pelajar sudah menjadi fenomena sosial yang kerap kali terjadi belakangan ini khususnya yang ada di kalangan pelajar baik tingkat atas maupun yang ada di tingkat perkuliahan (mahasiswa). Untuk itu pertanyaan yang sarat dengan pengkajian sosiologis adalah mengapa (why) para kaum pelajar kerap melakukan aksi tawuran tersebut ? untuk itu kita tidak dapat melihatnya dalam pandangan kacamata kuda tetapi perlu perspektif dan kajian yang mengkristal. 

Faktor Penyebab
Memulai tahun ajaran baru para kaum pelajar telah tercoreng dengan bentuk aksi tawuran yang mereka lakukan. Mereka telah menamakan dirinya sebagai kaum pelajar yang diidentikkan dengan agent of intellectual, pelanjut generasi bangsa, dan menjadi social of control di masyarakat. Fenomena tawuran yang dilakukan oleh para kaum pelajar tak pernah putus keberadaannya karena didentikkan proses melalui pencarian jati diri yang sesungguhnya. 

Masa remaja (pelajar) sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah, baik di rumah, sekolah, atau di lingkungan pertemanannya. Faktor pemicunya menurut seorang sosiolog adalah gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang baik.

Sangat ironis ketika para kaum pelajar melakukan sebuah tindakan aksi tawuran karena mereka diharapkan mampu menjadi pembelajar sejati tetapi mereka terlibat aksi tawuran yang bersifat destruktif dan tindakan tersebut termasuk kedalam bentuk perilaku menyimpang (deviation social). Para kaum pelajar khususnya yang ada di masyarakat perkotaan pada dasarnya bersifat heterogenitas dan bersifat plural (etnis), tentunya mereka akan melakukan proses akulturasi didalamnya yang sebelumnya mereka belum mengetahui norma dari setiap orang lain khususnya yang ada di lingkungan sekitar. 

Kaum pelajar meyakini bahwa norma yang dimilikinya sesuai dengan pencitraan dengan nama dirinya sendiri yakni ingin merasakan yang namanya anak muda. Maka terlintas dipikiran bahwa mereka bisa saja melakukan sesuai dengan keinginan (hasrat) tanpa ingin mengetahui norma dan ekses negative yang ditimbulkan. Sontak dari kejadian tawuran antara pelajar vs wartawan maupun pelajar dengan yang lainnya bahwa mereka tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan dan tidak mampu membedakan hal yang pantas dan tidak pantas. Keadaan itu bisa juga terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home), kurangya perhatian dari orang tua, dan sosialiasi lingkungan yang tidak kondusif. 

Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi

Memasuki abad ke 21 faktor objektif tidak kalah pentingnya yang datang adalah media. Sarana IPTEK menjadi faktor penting yang kian menjadi konstruksi sosial berupa pemikiran (mindset), perilaku, dan terjadi dinamika perubahan lingkungan di masyarakat. Misalnya melalui permainan game online yang menyebabkan pola perilaku imitasi (imitation behavior) dengan bervirtual bersifat kekerasan dan melalui tayangan dan tontonan TV yang menampilkan adu kekerasan dan dan bersifat tindakan anarkisme. Teknologi tersebut mempunyai ekses negative yang mempengaruhi sosialisasi perkembangan anak khususnya di kalangan para kaum pelajar dan bisa bias dari apa yang diharapkan dengan kehadiran teknologi informasi tersebut.

Proses Sosialisasi
Kejadian diharapkan mempunyai dampak tersendiri bagi proses pemberi sosialisasi yang mempunyai peranan penting yang bersifat holistik di lingkungan sosial yang mempengaruhi tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi anak dan remaja. Dengan pola kehidupan modern sekarang tentunya yang ditampilkan adalah sifat individualistik yang terkadang mengabaikan pola dan pertumbuhan kehidupan anak dan remaja yakni perhatian yang didapatkan dan diberikan oleh pihak orang tua (pendidik). Selain itu pergaulan di kehidupan nyata yang berperan penting yakni teman sepermainan yang saling memberi stimulus, organisme, respon (SOR) yang bisa memunculkan perilaku yang bersifat saling meniru (imitation behavior) dengan sesuatu hal yang positif.     

Oleh karena itu proses sosialisasi lingkungan tersebut harus bersifat holistik dan bersifat integral. Lingkungan awal adalah para orang tua, saudara, maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penamaan disiplin dan kebebasan. Pada saat ini orang tua, saudara maupun kerabat (secara sadar atau setengah sadar) melakukan sosialisasi yang biasa diterapakan melalui kasih sayang yang memberikan suatu nilai tersendiri berupa nilai ketertiban, ketentraman, nilai kebendaan, keakhlakan, dan nilai kelestarian.    

Selain itu juga bahwa pendidikan yang bersifat formal kurang mampu memberikan sebuah nilai edukatif yang mempunyai peranan penting. Dengan melakukan sebuah refleksi kehadiran tempat bimbingan belajar yang semakin menjamur di perkotaan bahwa para orang tua maupun siswa tidak puas mendapatkan ilmu yang bersifat edukatif yang bermanfaat untuk bagi dirinya. Olehnya itu para orang tua bisa memberikan tambahan pendidikan lainnya yang bersifat non formal melalui les dan privat yang di nikmati dan disukai oleh para siswa karena waktunya yang cukup fleksibel.

Dengan berharap bahwa kesemua proses sosialisasi tersebut kiranya dapat bersifat holistik dan integral, memberikan pusat perhatian kepada anak tercinta dalam kehidupan sehari dimana para orang tua terkadang sibuk dan larut dalam rutinitas yang dijalani. 

Memahami Hidup Dalam Ketidakpastian


Tanya hasratmu benarkah dirimu
Masih membutuhkan aku
Bila tak berubah bicara padaku
Kepastianlah yang ku tunggu
(Cipt. Gigi) 

ketika ingin memahami dan mengerti nuansa lagu yang cukup puitis sepenggal di atas adalah tentunya menceritakan bahwa seseorang sangat mengharapkan yang namanya kepastian apalagi seseorang yang berkepribadian dan memiliki sifat melankonis. Hehehe…

terma kepastian tersebut bisa di interpretasikan ke berbagai hal dan maksud yang di inginkan. Bisa ke soal prestasi, karir (keuangan), maupun hubungan (jodoh). Di satu sisi sebagian besar seseorang mempunyai prinsip bahwa rezki, jodoh, dan maut itu adalah sesuatu yang pasti. Sedangkan di sisi lain kita tidak mengetahui dari sebuah kepastian itu, misal pertanyaan yang di lontarakan adalah : berapanya, siapanya, di mananya, kapannya, dan bagaimannya. Pertanyaannya, yang mana lebih besar unsur pastinya atau tidak pastinya ? Dalam pengertian kepastian bisa dilihat dalam kamus online http://kamusbahasaindonesia.org/kepastian.

Dengan pengertian tersebut istilah kepastian itu menjadi suatu sifat yang aksioma, misalnya 1 + 1 = 2. Dalam pembagian disiplin ilmu yang berbeda dan menurut ahli penemuan otak kanan, bahwa mereka yang sangat menyukai pelajaran IPA mereka adalah orang yang selalu berada dalam kepastian. Tentunya kita ketahui bahwa di dalam pelajaran ini harus dan senantiasa menguasai rumus-rumus yang di tetapkan.

Sedangkan dalam pelajaran IPS misalnya politik, sosiologi,dll, mereka yang di dalamnya senantiasa mencari sesuatu yang tidak pasti, karena realitas yang senantiasa berubah, selain itu fenomena yang diamati bisa menjadi bahan research selanjutnya sesuai dengan perkembangan zaman yang ada.

Memahami Ketidakpastian
Seorang psikolog dan sosiolog ternama, Menurut Erich Fromm bahwa di dalam diri manusia terdapat unsur kepastian dan ketidakpastian. Hal tersebut bisa di lihat dalam Tesis yang di tulisnya ‘Melarikan diri dari kebebasan’. (Erich Fromm, Escape from Freedom NY: Rinehart, 1941 Hlm 36-7). Dengan itu manusia akan selalu berada dalam kubangan pencarian yang diharapkan dan tanpa merasa yang ada di hadapannya adalah serba kepastian.

Secara spontanitas, kerap kali seseorang mengatakan kepada lawan bicaranya ( yang pasti-pasti aja dech ). Dengan itu pemaknaan secara lateral, seseorang yang mengutarakan kalimat tersebut tanpa mau berusaha melewati proses ikhtiar dan doa. Selain itu, kebanyakan orang menganggap ketidakpastian sebagai hal yang membingungkan dan kerap membuat mereka ‘gerah’.

Tentunya yang tak lazim di dengar, bahwa hidup adalah pilihan. namun kita tidak selalu dapat memilih karena kita bukanlah pemegang takdir. Akan tetapi, ketika kita senantiasa melakukan proses usaha doa dan ikhitiar tentunya ada ikut campur tangan dari sesuatu yang maha segalanya.

Ketika kita sepintas menilai seseorang bahwa mereka terkadang hidupnya serba ketidakpastian, bukan karena mereka tidak tahu kemana harus melangkah, cara apa yang harus ia lakukan, dan jalan mana yang harus ia lalui, tapi karena hambatan dan pertimbangan bagi masing-masing orang berbeda. Selain itu, dengan pemahaman ketidakpastian bagi penulis tentu tidak selamanya buruk. Karena dengan perasaan bingun tentu bisa saja melahirkan sebuah pemikiran baru dan kreatitivitas yang unik dan sedikit merangsang daya nalar yang kita miliki.  

Sebagai pengamatan, seseorang yang dikatakan berpenghasilan yang tidak pasti (keuangan yang tidak stabil) tetapi mereka sangat merasakan kebahagiaan yang sangat besar. Sebaliknya orang yang berpenghasilan yang stabil bisa saja mengalami rasa ketakutan dan kehilangan harta yang dimilki. tetaplah bersabar dalam menghadapi sebuah ketidakpastian, Insya Allah !!!

Blk, 7/09/2011


Memaknai Mudik dalam Tinjauan Sosio-Kultural

Tak terasa hampir sebulan penuh kita menjalankan ibadah puasa ramadhan sebagai bentuk ibadah individual yang kita lakukan kepada Allah SWT. Selain itu ibadah sosialpun tak terlupakan untuk diaktualisasikan untuk menjaga tali persaudaraan dan menunjukkan rasa empati diri terhadap sesama manusia (hablum minannas) atau dalam pandangan amien rais di sebut sebagai tauhid sosial. Tauhid sosial atau kesalehan sosial tersebut termanifestasikan sebagai bentuk ibadah af'aliyah dalam kehidupan sekitar.  

Selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan, tentunya  menjadi momentum introspeksi diri, penyucian hati (tazkiyah an-nafz), menahahan segala sifat hawa nafsu yang di miliki oleh manusia dan  sebagai akhir puncak nanti sebagai umat muslim yang ada di Indonesia maupun di negara lainnya akan merayakan hari kemenangan yakni merayakan hari Idulfitri 1 Syawal 1432 H.  Dengan itu kita berharap semoga kita kembali dalam keadaan yang fitri (suci) seperti yang Allah SWT yang janjikan.

Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan sosio-kultural ketika pada saat menjelang lebaran, hal tersebut bisa kita lihat di berbagai tempat antrian yang begitu padat di karenakan komposisi penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Mereka senantiasa sangat antusias untuk melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. Tak peduli harus membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang lebaran, harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, tak jarang banyak yang tak kebagian tiket sehingga harus harus rela berdiri dan berdesak-desakkan dan sampai ironisnya ada yang menelan korban dengan fenomena seperti ini. Untuk itu, Mudik menjadi euforia tersendiri bagi sebagian besar orang, karena hanya di rayakan setiap tahun sekali khusunya yang ada di kota besar metropolitan.

Faktor Pendorong
Tak di pungkiri bahwa era sekarang di sebut sebagai era Iptek (Informasi Teknologi dan Komunikasi) dengan menghasilkan berbagai produk seperti handphone, BBM  (blackberry), internet melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Dengan produk yang di hasilkan tersebut memberikan kemudahan tersendiri ketika melakukan komunikasi secara audio visual dan juga yang tak memungkinkan untuk di jangkau oleh seseorang.
Tetapi masyarakat merasa bahwa komunikasi audio visual tersebut hanya bersifat teknologis instrumental (alat) yang di sebut dalam pandangan Jurgen Habermas. Bagi mereka, tradisi mudik tidak bisa tergantikan karena mempunyai suatu makna tersendiri yakni makna yang bersifat sosio-kultural.

Menurut Sosiolog UGM Arie Sudjito, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama yang ada pada masyarakat pedesaan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis, dan ketiga, lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Kemudian. mengingat asal usul, dan unjuk diri, bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.


Dalam hubungan kekerabatan dalam rumah tangga kita mengenal dengan istilah keluarga inti (extented family) dan keluarga besar (nuclear family). Keluarga inti (extended family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan keluarga besar (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri lebih dari satu generasi. Untuk itu, yang termasuk di dalam golongan keluarga yang  bercirikan sebagai nuclear family (keluarga besar) tak lengkap rasanya ketika tidak merayakan yang namanya tradisi mudik lebaran untuk berkumpul di kampung halaman, bercengkrama, mengingat romantisme masa lalu yang pernah di jalani.

Masyarakat Perkotaan
Di samping itu ketika keinginan tersebut untuk melakukan mudik tidak tercapai, bisa saja mereka mengidap efek psikologis yang sangat amat mendalam karena mereka tidak bisa berkumpul dengan orangtua tercinta maupun sanak keluarga yang ada. 

Dengan mudik orang yang bercirikan tipe keluarga besar (nuclear family) mereka jauh kepada sanak keluarga yang ada di kampung halaman. Tipe yang bercirikan seperti ini adalah merekalah yang hidup mandiri khususnya yang ada di masyarakat perkotaan. Mereka sangat merasakan yang namanya pahit manisnya ketika hidup di masyarakat perkotaan. Mereka bercampur-baur melakukan proses akulturasi dengan masyarakat lain, bahkan tak jarangpun mereka yang tercerabut dari sisi kemanusiaan yang di miliki di karenakan lingkungan kerja dan mereka yang teralienasi dengan lingkungan sosial. 

Tentunya, hal tersebut terjadi karena rutinitas mereka yang telah menyita telah menjadikan manusia, seperti apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky sebagai "robopaths". Robopaths telah kehilangan spontanitas dan kreatifitas. Bagi penulis, tanpa maksud untuk menggeneralisir bahwa hidupnya yang seperti ini mereka yang ada dan terkooptasi di dalam lembaga institusional yang bersifat struktural.

Untuk itu dalam kesempatan tertentu seperti dengan adanya tradisi mudik lebaran, orang-orang yang kemudian pernah mengalami suatu masalah ketika berada di lingkungan kerja dan merasa sifat kemanusiaanya telah tercerabut akan sedikit meminimalisir suatu keadaan atau masalah yang telah di hadapi dan ketika melakukan tradisi mudik lebaran mereka akan merasakan masa lalunya ketika berada di kampung halaman. Peristiwa dalam pandangan seperti ini secara sosiologis menurut Pierre Bouerdieu, akan membawa kita ke dalam refleksi kedirian, pengetahuan, selera, dan makna yang bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas lain (Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004). 

Selain itu, Kebutuhan semacam ini menurut Abraham Maslow merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi manusia. Menurut Maslow kebutuhan yang mendasar atau tidak, tidaklah menjadi suatu masalah yang penting tetapi bagamaimana mereka meninggalkan sementara segala kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.

Dengan mudik, menurut sosiolog Emile Durkheim (1859-1917) disebut dengan solidaritas organik. Mudik bisa menjadi salah satu jalan melanggengkan solidaritas organik itu ketika masyarakat sebelum dan sesudah hari raya kadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa saling melupakan silaturahmi antar sesama.

Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial (social contact), dengan itu kita bisa meluangkan perasasaan-perasaan yang ingin di sampaikan kepada orang lain, baik itu kepada kedua orang tua tercinta dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di lakukan, mereka berbagi kepada tetangga, keluarga, maupun para sahabat ketika pada saat waktu kecil berada di kampung halaman. Dengan itu ketika proses komunikasi terjalin akan memberikan sebuah reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan.

Momen seperti ini jarang kemudian terjalin di tengah kesibukan dan aktivitas diri masing-masing apalagi yang hidup di masyarakat perkotaan. Selain itu dengan melakukan mudik dalam tinjauan sosiologis, ada sebuah ciri nilai sosial yang kemudian kembali terjalin terhadap sesama keluarga, tetangga, maupun sahabat. Ciri nilai sosial tersebut kemudian di representasikan sebagai saling memotivasi diri, saling memberikan sugesti, di jadikan sebagai ajang sharing baik permasalahan yang bersifat pribadi maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan.
 
Terbit di harian tribun timur edisi 26/08/2011

Fenomena Komodifikasi Di Bulan Ramadhan

      Fenomena menarik yang kita lihat ketika bulan suci ramadhan telah tiba berbagai persiapan yang dilakukan oleh seseorang mulai dari persiapan nonmaterial maupun dari segi aspek material. Persiapan nonmaterial yang kami maksudkan disini adalah berkenaan dengan aspek psikis/mental, dan ruhani seseorang. Dari segi aspek ini bulan ramadhan sebagai momentum refleksi diri, penyucian hati (tazkiyah an-nafz), dan berempati diri terhadap orang di sekeliling yang kurang beruntung untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

         Pada realitas dan momentum sedapatnya kita mengingatkan kita kembali apa yang dikatakan oleh Emile Durkheim (1859-1917) bagaimana kita memberikan rasa solidaritas social yakni kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (collective consciousness). 

Secara filosofis sosiologis bulan ramadhan tentunya kita semua mempunyai visi dan harapan yang sama yakni untuk mencapai sebuah derajat taqwa (QS. Al-Baqarah 183). Untuk itu di dalam bulan ramadhan ini  bisa dikatakan sebagai ajang untuk berfastabikhul khairat (berlomba-lomba) dalam kebaikan. Ketika manusia mengharapakan dan ingin mencapai sebuah derajat taqwa otomatically status social yang kita dapatkan melalui usaha dan kerja keras (achieved status) tidak lagi menjadi domain terhadap diri manusia apapun profesi, pangkat, jabatan yang kita sandang. 

Selain itu fenomena menarik yang kita amati adalah ketika pada saat bulan ramadhan tiba, jauh hari sebelumnya persiapan yang bersifat materialpun tidak kalah pentingnya untuk dipersiapakanm mulai dari alat perabotan rumah tangga mulai ditata baik yang bersifat eksterior maupun interior telah diganti yang baru walaupun sebenarnya masih layak pakai dan dapat di pergunakan atau karena tuntutan trasidi yang turun temurun dilakukan. Ini tak ubahnya karena media massa, baik media cetak maupun elektronik yang mempunyai iming-iming yang sangat mempesona untuk merayu para konsumen (pembeli) dengan slogan-slogan yang di sampaikan. 

Di media cetak surat kabar misalnya dengan menawarkan berbagai produk makanan, elektronik, sampai fashion yang di polesi dengan nuansa islami dengan menawarkan diskon sekian persen agar para konsumen tergiur tawaran yang diberikan dan secara otomatis para konsumen berlomba-lomba dan ikut antri di tempat pembelian tersebut walaupun pada dasarnya kebutuhan yang akan di belinya hanya bersifat pelengkap (sekunder) dan bersifat keinginan (desire) yang pada dasarnya tak mempunyai batasan.

Sejatinya bahwa momentum bulan ramadhan ini di manfaatkan untuk beribadah pada malam hari dengan melaksanakan ibadah ritual yakni melaksanakan shalat tarawih/witir secara berjamaah tetapi fenomena yang kita lihat dan amati penjualan pasar malampun mendadak ikut ramai terutama yang ada disekitar halaman kami dan mungkin saja ada di sekitar anda, belum lagi tempat yang paling banyak dikerumuni orang yakni yang ada di supermarket maupun minimarket dengan dalih di tempat tersebut mempunyai kenyamanan untuk berbelanja dibandingkan yang ada di pasar tradisional. Anak-anak pun ikut ramai dengan kedatangan bulan ramadhan mereka menyambutnya dengan ekspresi kegembiraan dengan membunyikan petasan dengan dentuman yang begitu keras. 

Dengan melihat fenomena sekitar bahwa terkadang manusia mempunyai sifat (animal spirit) semangat berbelanja yang bisa saja mempunyai kemiripan dengan sifat yang ada pada binatang. Selain itu bisa kita lihat di media elektronik tayangan yang ada di TV bermetamorfosa menjadi religius terutama tampilan sinetron yang menjadi primadona bagi kaum hawa sampai berbagai produk iklan yang tawarkan di kemas secara islami. Ketika kita menelusuri secara analitis kritis yang menjadi something problem adalah terjadinya komersialisasi nilai-nilai agama, agama disini menjadi komoditas yang dijual dengan membidik target pangsa pasar tertentu melalui sinetron religius. Nilai-nilai agama tersebut di komodifikasikan ke dalam wilayah-wilayah bisnis dengan menggunakan perspektif teori ekonomi politik dalam analisis Fairchlogh

Melalui kajian hipersemiotika tanda-tanda tersebut menjadi sebuah nilai tukar, tampilan sinetron yang dikemas secara emosional dan individual untuk menarik dan memikat para penonton, selain itu tampilan yang bersifat humoris di tonjolkan ketimbang memberikan sebuah aspek pencerahan yang mengedapankan nilai edukatif keagamaan. Artispun yang biasanya tampil buka-bukaan kini pada saat bulan ramadhan menutupnya sedemikian islami dengan kata lain untuk meraup keuntungan. Dengan demikian pertanyaan yang bisa kita tujukan kepada diri masing-masing apakah bulan ramadhan ini bisa kita memanfaatkan sebaik mungkin untuk mencapai makam spiritual derajat taqwa ataukah bulan ramadhan ini hanya sebagai simbolitas keagamaan yang bisa saja di komodifikasikan oleh segelintir orang sebagai lahan bisnis ?